You Know That is Not the Only Way!
July 5, 2020

Kesimpulan season 1 - Ekspektasi VS Realita

Kesimpulan season 1 - Ekspektasi VS Realita
The player is loading ...
Dokterpintar

Stigma masyarakat, apresiasi pemerintah, dan idealisme pribadi seringkali berbenturan dengan realita yang dihadapi seorang dokter. Podcast ini ingin mengingatkan ke kamu sekalian bahwa perjalanan menjadi dokter tidaklah ringan dan jauh dari mata mudah. Terlepas apa yang kalian putuskan untuk menjalani hidup sebagai lulusan dokter, terima kasih sudah mau mendengarkan ocehan saya di season 1 ini. Sampai jumpa di season 2 dengan bahasan yang lebih seru lagi. See you! --- Send in a voice message: https://podcasters.spotify.com/pod/show/dokterpintar/message Support this podcast: https://podcasters.spotify.com/pod/show/dokterpintar/support

Transcript

Hai, welcome welcome welcome di podcast dokterpintar, thankyou yang udah dengerin sampai sekarang, thankyou yang udah follow social medianya dokterpintar, besar apresiasi gue untuk kalian semua, kenalkan gua dr.Hafiz, host podcast kali inidan tak memperpanjang lagi ini adalah episode terakhir dari season 1, so check this out!

DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Aceh, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur, 10 daerah ini atau 10 provinsi ini merupakan 10 daerah dengan rasio populasi dan dokter yang paling banyak, namun yang dihighlight dari 10 daerah ini ada 3 yang berada di angka di atas 0,8; artinya di setiap 1000 populasi, ada satu atau nyaris ada satu dokter yang meng-cover populasi tersebut dan angka tertinggi ada di 1,58; yaitu tentunya masih di DKI Jakarta, dan menarik dari data ini adalah sebetulnya distribusi dokter itu secara angka berturut-turut ada di DKI Jakarta tentunya pasti, kemudian yang kedua adalah Jawa Timur, kemudian yang ketiga adalah Jawa Tengah dan yang keempat adalah Jawa Barat. Ditambah lagi kenyataan bahwa ada 3 provinsi dengan rasio dokter paling sedikit dibandingkan dengan populasi, yaitu di Nusa Tenggara Timur, kemudian di Jawa Barat dan di Kalimantan Barat. Sedikit ironi untuk Jawa Barat, walaupun jumlah dokternya sebetulnya termasuk teratas tapi dari segi rasio masih kurang, artinya memang karena kita tahu, Jawa Barat tidak hanya Depok, tidak hanya Bekasi, tidak hanya Bandung, tapi Jawa Barat itu luas sekali, distribusi untuk daerah-daerah lain di Jawa Barat memang dibutuhkan lebih banyk dokter. Itu masih masuk akal. Sedangkan, untuk 2 daerah lagi yaitu NTT dan Kalimantan Barat, kemudian di atas Jawa Barat tadi sedikit selisih dengan Papua, daerah-daerah ini sebetulnya merupakan daerah tujuan favorit untuk PTT, kemudian juga favorit untuk internship, dan memang sengaja daerah-daerah ini yang menjadi sasaran utama dari pemerintah untuk menurunkan lebih banyak lulusan dokter dan menyebar mereka ke daerah tersebut. Pertanyaannya sampai sekarang adalah mengapa masih ada daerah tersebut yang kekurangan dokter? mungkin teman-teman sejawat yang udah menjalani internship dan PTT bisa menjawab ini ya. Karena sebaik-baik apapun tunjangan daerah di daerah-daerah terpencil itu tidak ada yang mau bertahan sampai lebih dari 1-2 tahun di daerah-daerah yang jauh tersebut. Intinya, dokter sama aja dengan manusia yang lain, masih mempunyai cita-cita yang lain, mau sekolah lagi, atau ingin mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Yang lebih ironisnya lagi adalah Jakarta. Jakarta dengan jumlah distribusi dokter paling banyak (15%), kemudian rasio nya juga sudah terlalu padat, sementara sebetulnya yang dicetak oleh kampus-kampus Jakarta tidak sebanyak itu, artinya adalah, banyak lulusan-lulusan di luar Jakarta, kita tidak ngomongin daerah 3 Jawa itu ya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, tapi daerah-daerah yang lain, entah itu Sumatera, Sulawesi, dan lulusan dokter manapun di luar Jakarta, itu berbondong-bondong datang ke Jakarta. Sama halnya dengan arus urbanisasi komunitas manapun yang kita lihat. Berharap ada perbaikan ekonomi datang ke Jakarta untuk nasib yang lebih baik, berharap untuk mendapatkan lowongan kerja yang mumpuni, berharap bisa lebih mapan, lo pergi ke Jakarta, akhirnya ya banyaklah terjadi berita-berita yang tidak enak, contohnya, ada dokter dibayar per pasien lebih murah daripada tukang parkir, ada dokter yang ditangkap media menerima “suap” oleh perusahaan farmasi dan alat kesehatan, banyak macamnya, gua ngga bisa mewakili untuk daerah-daerah lain, tapi di Jakarta, jumlah dokter sudah terlalu banyak.

Sementara pada survey kepuasan karyawan di rumah sakit di beberapa negara-negara salah satunya di Amerika Serikat dan China menunjukkan bahwa angka kepuasan dokter akan pekerjaannya merupakan angka yang paling rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang lain, dibandingkan dngan profesi yang lain, atau dalam tanda kutip buruh di atas rata-rata. Nama gua dr.Hafiz, host dokterpintar dan kita bahas ini di akhir season 1.

Eits, jangan kemana-mana dulu, gua mau cerita dikit review, ini podcast pertama gue pakai aplikasi yang sangat bagus banget, free, kalian tidak perlu mengeluarkan duit apa-apa, malah kalian bisa dapat duit dari aplikasi ini, yaitu anchor, kalian bisa download di playstore atau appstore, atau kalian bisa buka di anchor.fm , disana kalian bisa bikin podcast dari nol, yang kalian record di sana bisa atau kalian mau masukin dari yang sudah rekam sebelumnya kalian tambahkan musik segala macam, pokoknya keren deh coba, thankyou.

Hai, gua akan memulai pembahasan kita pada kali ini dengan membaca salah satu comment pada postingan akun gue di facebook page dokterpintar.com, dimana gua ngga perlu nyebut nama akunnya ya, tapi ada salah satu netizen yang berkomentar bahwa ditulis disitu adalah “kalau mau jadi kaya tidak usah sekolah, teman/saudara/sepupu saya ada yang lulusan SD tapi bisa punya mobil, bisa punya perkebunan dsb. Kalau mau jadi dokter, ya dokter itu seharusnya adalah orang yang dermawan, tanpa pamrih, tanpa memikirkan keuntungan, kurang lebih frase nya seperti itu. Mungkin gua lebih memparafrasekan sedikit lebih halus dibandingkan dengan comment yang ada di postingan itu ya. Di satu sisi, sebetulnya gua merasa kebahagiaan kenapa? Karena masyarakat masih menaruh respek yang sangat tinggi untuk profesi dokter, mereka mengaggap dokter adalah profesi yang mulia, minimal selevel lah dengan guru tanpa pamrih, tanpa tanda jasa, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi berangkat dari data tadi kenapa banyak dokter yang tidak puas dengan pekerjaannya. Sekarang gua Tanya balik ke kalian semua, ntah yang mau lulus jadi dokter atau sudah jadi dokter beberapa tahun, apakah kalian puas dengan posisi kalian sekarang? Atau kalian ingin mengidam-idamkan ingin mendapatkan kesejahteraan yang lebih, sebetulnya ini tidak usah dijawab, ini sudah terjawab dengan banyaknya yang berbondong-bondong lulusan dokter umum mendaftar kembali untuk melanjutkan sekolah menjadi dokter spesialis, dan ini kita buka kartu aja ya, rekan-rekan yang daftar spesialis itu tidak semua yang lulus ke pilihan pertama mereka, ingin spesialis apa seprti kardio, radiologi, mereka ngga semua lulus langsung seperti itu karena kursi untuk pendidikan dokter spesialis itu jauh lebih terbatas dibandingkan dengan ketika kalian berebut ingin menjadi dokter, saat di S1. Lantas apa yang dilakukan oleh kebanyakan sejawat yang tidak lulus spesialisasi ? yang pertama mereka cari spesialisasi yang sama di fakultas lain untuk daftar lagi., sampai kalau tidak salah ada limitnya kalau 2/3 kali gagal,sudah tidak boleh mendaftar di spesialisasi itu lagi. Dan jangan salah, masih ada sejawat-sejawat kita, dan gua yakin banyak yang masih mencoba ingin sekolah spesialis tapi merubah pilihan spesialisasinya. Yang awalnya pingin masuk ke pulmonologi tiba-tiba ya karena di pulmonologi sudah tidak lulus beberapa kali, akhirnya dia pindah ke spesialis penyakit dalam, misalnya. Tapi apa yang akan terjadi? Itu adalah sorry to say merupakan salah satu cara untuk bisa kabur dari kesulitan ekonomi sebagai dokter umum. Ya, siapa yang ngga mau mendambakan lulus jadi dokter spesialis, kemudian dikontrak oleh salah satu rumah sakit swasta minimal 50 juta sebulan hanya di satu rumah sakit itu kemudian belum lagi nambah praktek di luar? Jangan naif deh. Walaupun pada prinsipnya ketika kita diangkat sumpah menjadi dokter, gua yakin dihati nurani kita masing-masing ada sebersit ideealisme untuk betul-betul menjadi dokter yang baik, menjadi dokter yang bisa membantu masyarakat tanpa peduli dibayar berapapun, mana yang lebih besar idealisme itu dibandingkan dengan kenyataan pahit yang teman-teman temukan di dunia medis yang sebenarnya. Lantas, salah ngga masyarakat masih berpikiran “dokter itu ngga harus demo turun ke jalan untuk memperjuangkan bantuan hidup internshipnya, dokter ga perlu protes ke pemerintah untuk minta di standardisasi tarifnya”. Lantas, masyarakat salah ngga berharap seperti itu? Ngga salah, kalau lingkungannya mendukung untuk itu. Contoh paling jelas adalah banyak juga kok lulusan dokter dalam negeri yang akhirnya pergi ke luar negeri, yang paling dekat ya Singapura-Malaysia, mereka ambil sertifikasi lagi disana tujuannya apa? Agar bisa hidup layak di negara tetangga. Sama halnya dengan banyaknya stigma di masyarakat terkait penyakit tertentu, salah satunya yang sekarang adalah COVID, gua pernah nulis di salah satu platform digital pada bulan Januari lalu, gua tulis “COVID-19, hati-hati stigma di masyarakat dsb”, dan memang ternyata terjadi, ada banyak pasien yang mau diperiksa tapi di test dia takut diperiksa (diswab), terstigma bahwa dia pembawa virus, walaupun itu bukan hal yang menakutkan/memalukan sebetulnya. Stigma yang ada di dalam masyarakat akan tetap ada termasuk stigma ke profesi dokter. bukankah IDI berulangkali memperjuangkan bagaimana kesejahteraan dokter, terutama dokter-dokter yang ada di pelosok/dokter-dokter yang jauh jangkauannya dari pemerintah pusat dan tetap harus mengabdi apapun keadaanya yang ada di lapangan? Negara butuh dokter ya, negara butuh dokter lebih banyak iya, tapi negara butuh dokter yang ikhlas, yang rela menyadari kenyataan yang pahit dunia kedokteran saat ini. 

Sekarang pertanyaan besarnya adalah apakah kalian betul-betul siap untuk lulus menjadi dokter yang sesuai dengan harapan masyarakat secara umumnya, netizen dalam tanda kutip, untuk tidak boleh mengeluh, dokter tidak boleh memikirkan pamrih, dapat gaji berapa dsb? Atau sebetulnya kalian menunggu mendapatkan jenjang karir yang kalian impikan sebenarnya? entah kalian nunggu daftar spesialis atau nunggu sedang apply ke perusahaan tertentu, non klinisi, itu lain hal, kalau kalian ingin betul-betul ingin menjadi klinisi dan kalian rasa kalian sangat mampu untuk hal itu, ada syarat, disaat kalian mempertahankan hal semua itu, disaat kalian mengabdi untuk bangsa dan negara ini, agar kalian tidak terlalu berat untuk mengabdi, ada banyak cara yang ditempuh oleh klinisi untuk, ya minimal, bisa meringankan biaya hidup.

Ada cara sebetulnya, beberapa diantaranya adalah kalian bisa ambil job-job rutin sebagai tenaga medis untuk event tertentu, paling sering adalah haji, dokter untuk mendampingi haji dicari terus setiap tahun, jumlahnya cukup banyak, tapi memang kalian sudah siap sedia cari informasinya jauh-jauh hari mungkin informasinya 2-3 bulan sebelum jadwal training tenaga medis untuk haji, sejauh yang saya tahu, tenaga medis untuk haji itu minimal mengikuti training selama 40 hari sebelum berangkat bersama jemaah haji, jadi kalian harus cari tahu jauh-jauh hari, nanya ke senior, cari di komunitas kalian dsb, atau event-event olahraga yang rutin diselenggarakan tiap tahun, atau kalian ambil sertifikasi-sertifikasi khusus yang bisa memudahkan kalian untuk kerja sebagi klinisi tapi bukan sifatnya spesialisasi, contoh misalnya hiperkes, itu sangat berguna untuk kalian untuk masuk jadi tenaga occupational health di perusahaan-perusahaan terutama bank, oil, gas, itu sangat-sangat diperlukan, kalau kalian ingin  mendalami lebih jauh, kalian bisa ambil magister kedokteran komunitas atau okupasi atau kalian mengambil spesialis kedokteran okupasi, contoh lain kalian mengambil sertifikasi sebagai dokter keluarga, sekarang sudah banyak jumlahnya dokter-dokter keluarga, bedanya kalau dokter umum kalian hanya menerima pasien kalau saat sakit, tapi dokter keluarga juga bertanggung jawab untuk menjaga agar pasien-pasien yang sakit tadi tidak sakit kembali, kemudian keluarga si pasien yang sakit terhindar dari penyakit yang diderita oleh si pasien yang pertama tadi, jadi sifatnya lebih holistik, banyak hal disana, promosi kesehatan yang paling penting. Kemudian, kalian juga bisa ngambil, tapi saya kurang paham apakah kalian harus mengambil spesialis dulu atau tidak ini, dokter-dokter khusus untuk kedokteran penerbangan, yang memang berpraktek di bandara, kemudian dokter kelautan untuk bisa bekerja di lingkungan maritim dan sekitarnya, banyak yang bisa kalian lakukan termasuk juga dokter untuk medical check-up, itu juga sangat banyak yang dicari, jadi tidak hanya terpaku mendaftar ke rumah sakit atau klinik, saya bukan orang yang plaing paham untuk ini dan paling berkompeten untuk menyampaikan lowongan kerja sebagai klinisi karena jujur tidak punya pengalaman dalam hal itu, tapi ini yang sedikit saya dapatkan informasinya dari senior beberap tahun melanglang-buana mencari lowongan pekerjaan sebagai non klinisi.

Hai calon-calon sejawat dan sejawat dokterpintar sekalian, terima kasih udah mendengarkan podcast ini hingga episode terakhir di season 1, gua tidak bosan-bosannya untuk mengingatkan kalian please kirim review, sampaikan review kalian, comment, kritik ke link yang sudah ada deskripsi atau bisa kirimkan ke email dokterpintar atau bisa ke social media dokterpintar yaitu Instagram, facebook page, linkedin, tweeter, tumblr. Apapun yang mau kalian sampaikan bisa disampaikan juga lewat verbal (voice note) kalau komentar kalian menarik saya munculkan di episode-episode berikutnya dan kita akan bahas apa yang terjadi dan kalian rasakan tersebut. Thank you!